"Mungkin ini akan jadi salah satu proses pendewasaan yang sulit. Walaupun mungkin kamu akan melaluinya dalam waktu yang tidak sebentar, tapi aku yakin kalau kamu pasti bisa melaluinya dengan baik," tulis saya pada sebuah pesan whatsapp yang kemudian saya kirim ke seorang kawan. Ya, seorang kawan yang pagi tadi sedang berduka.
Sekitar pukul setengah 4 pagi tadi, melalui pesan whatsapp, seorang kawan mengirimkan saya sebuah kabar duka. "Mas, mau ngasih kabar duka, bapakku meninggal. Minta do'anya, ya, Mas," ujarnya singkat pada pesan itu. Setelah membuka sekaligus membaca pesannya, tentunya sebagai seorang kawan, saya turut berduka dan berusaha untuk menguatkannya.
Sebagai seorang yang juga telah kehilangan bunga mataharinya dalam hal ini orang tua, baik itu ibu dan juga bapak, saya paham apa yang sedang dirasakan oleh kawan saya. Sedih, terkejut, berat, sesak, tapi harus berusaha untuk tabah dan juga ikhlas. Setiap kehilangan, saya rasa akan begitu rasanya. Meskipun saya sendiri juga sadar, bahwa setiap kehilangan tak bisa dibanding-bandingkan.
Ada yang bisa melaluinya dengan cepat. Ada pula yang melaluinya dengan lambat. Tergantung bagaimana seseorang merasakan kehilangan itu. Terlebih lagi bila hal yang telah hilang itu sangat berarti. Tentunya setiap orang tak ingin merasa kehilangan. Tapi setiap kehilangan tak bisa ditebak kapan waktunya akan datang, bukan?
Saya jadi teringat setahun yang lalu, sewaktu almarhum bapak meninggal. Saya juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kawan saya tadi, yaitu mengabarinya perihal kabar meninggalnya bapak. Sebagai seorang kawan, ia juga menguatkan saya. Sampai suatu ketika ia menyempatkan diri untuk melayat ke rumah di hari ketujuh meninggalnya alm. bapak. Sayangnya hal yang sama tak bisa saya lakukan. Saya hanya bisa menguatkannya melalui pesan singkat.
Sebenarnya ada keinginan untuk turut melayat langsung ke sana. Tapi selain jarak yang cukup jauh, ada Caca yang belum bisa ditinggal dan harus dijaga. "Nggak apa-apa, Mas. Do'a udah lebih dari cukup," balasnya lewat pesan singkat setelah saya mengirim pesan permohonan maaf karena tak bisa melayat langsung ke kediamannya.
Percakapan kami melalui pesan singkat pun akhirnya harus diakhiri setelah kawan saya mengabari bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju ke stasiun. Dari kota rantaunya, ia memutuskan akan naik kereta untuk pulang ke rumah orang tuanya. “Hati-hati di perjalanan,” balas saya sebelum akhirnya percakapan itu disudahi.
“Semoga ia nggak kenapa-kenapa di perjalanan,” batin saya dalam hati. Saya yakin dalam perjalanan mungkin ia merasa berat dan juga tidak tenang. Kabar mendadak yang baru ia dengar beberapa jam yang lalu mungkin sebenarnya belum siap ia terima. Namun, perihal nasib, rezeki, maupun usia tak ada yang benar-benar mengetahuinya. Sebagai seorang yang merasa kehilangan, barangkali kita hanya bisa menerima sambil berusaha. Berusaha menemukan suasana baru sembari berjalannya waktu suatu hari nanti.
Beberapa menit kemudian, selesai percakapan itu berakhir, sejenak saya duduk termenung. Selain karena masih terkejut dengan kabar duka dari kawan saya tadi, saya juga jadi teringat pada momen-momen kepergian almh. ibu dan juga alm. bapak. Rasa-rasanya seperti baru kemarin saya melaluinya. Saat memandikan jenazah almh. ibu dan alm. bapak, saat menyolatkan keduanya, hingga mengantarkannya ke pemakaman.
Tak lama kemudian, saya juga jadi teringat dengan kata-kata yang pernah diucapkan oleh kerabat dari salah satu tetangga saya yang baru sekitar tiga mingguan lalu bercakap-cakap dengan saya di halaman rumah alm. bapak. “Ya, tinggal kita-kita yang masih mengantre di (dunia) sini, Mas,” ujarnya selesai membicarakan perihal meninggalnya alm. bapak. Mendengar kata-kata itu, saya pun mengangguk dan setuju sambil berkata, “Iya, betul.”
Dari kata-kata itu juga seakan-akan saya diingatkan kalau saat ini saya pun masih mengantre untuk dapat pulang ke rumah yang sesungguhnya. Tanpa pernah tahu kapan waktunya itu akan tiba. Yang jelas, untuk saat ini selama saya masih diberi kesehatan, saya hanya bisa bersyukur dan menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dengan harapan, “Semoga di sana nanti kita bisa dipertemukan kembali, ya (Pak, Bu).”