Kisah ini bermula ketika Iwan, dengan nama lengkap Iwan Markawan, seorang anak kecil berumur 12 tahun yang hidup di sebuah desa yang terletak di Kota Tulungagung, Jawa Timur. Iwan merupakan seorang anak lelaki yang berasal dari sebuah keluarga yang bisa dibilang hidupnya serba kekurangan. Ayahnya bekerja sebagai seorang pekerja serabutan yang tentu hanya mengandalkan kekuatan fisiknya dalam bekerja. Sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga.
Dalam keluarga itu, Iwan bukanlah satu-satunya anak yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Masih ada 3 adik Iwan yang masih kecil-kecil. Melihat kondisi keluarganya yang serba kekurangan, sering kali tersirat dalam benak Iwan untuk membantu meringankan bebang orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun dengan usia belianya dan fisik kecilnya, hal tersebut hanya dapat menjadi angan-angan yang memudar secara perlahan.
Sepulang sekolah, layaknya anak-anak usia 12 tahun lainnya, Iwan pergi bermain bersama teman-teman sebayanya. Dengan asyiknya ia memulai sebuah permainan. Saat ia mulai tenggelam dalam keseruan dunianya, ia dikejutkan dengan sebuah suara. Suara yang terdengar seperti memanggilnya, “Wan… Iwan… reneo, Wan.”
Iwan bertanya-tanya dalam hatinya dari mana suara itu berasal, kebingungan dan rasa takut perlahan menyelimuti batin Iwan. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan menghadap ke sebuah rumah yang cukup besar. Terlihat di depan rumah itu nampak pemilik rumah, yaitu seorang lelaki yang berumur sekitar 47 tahun, bertubuh gempal, dengan rambut yang agak sedikit beruban dan kumis yang sedikit tebal. Melihat orang tersebut, tersadar diri Iwan, Iwan baru menyadari bahwa suara yang memanggil-manggilnya tersebut berasal dari pemilik rumah tersebut yang bernama Pak Sabdi. Pak Sabdi adalah seorang juragan telur ayam. Beliau setiap harinya menjual telur ayam di sebuah toko kecil depan rumahnya.
Mengetahui bahwa Pak Sabdi memanggilnya, Iwan lantas menghampiri Pak Sabdi dan bertanya, “Wonten nopo Pak?” Tanpa panjang lebar, Pak Sabdi mengutarakan sebuah penawaran, “Kowe tak tawari kerjo, gelem gak, Wan?”
Batin Iwan merasa sangat terkejut, tak diduga angan-angan yang selalu diharapkanannya kini mulai menemui titik terang. Iwan bertnya kembali kepada Pak Sabdi, “Kerjo nopo, Pak?”
Dengan ramahnya, Pak Sabdi menjawab, “Kowe tak kongkon ngedol endog pitik iki mubeng neng sekitar deso, gelem gak?” Ternyata Pak Sabdi memberikan penawaran kerja kepada Iwan untuk menjajakan telur ayam miliknya ke sekitar desa. Pak Sabdi memberikan penawaran kerja ini kepada Iwan bukan tanpa alasan. Beliau menyadari keadaan ekonomi keluarga Iwan yang serba kekurangan. Maka dari itu Pak Sabdi berharap dengan penawaran yang diberikannya ini kepada Iwan, Iwan akan mampu membantu mengubah kondisi ekonomi keluarganya.
Tanpa berpikir panjang, Iwan menyanggupi penawaran Pak Sabdi. Setiap pulang sekolah, Iwan memulai perjuangannya menjajakan butiran telur ke sekitar desa. Dengan sebaskom besar berisikan sekitar 40 butir telur, ia mulai perjuangannya. Ia berkeliling menelusuri terjalnya jalan pedesaan dengan semangat yang menggebu-gebu, dengan rasa percaya diri yang selalu menyertainya. Panas teriknya matahari, deru derasnya rintikan hujan, ia hadapi dengan penuh keikhlasan. Semua itu dilakukannya dengan sebuah harapan, yaitu semoga dagangannya dapat terjual tanpa adanya sisa.
Ia lewati terjalnya jalan pedesaan sambil sesekali berteriak, “Endog…endog…” Sebuah teriakan yang menjadi ciri khas seorang penjual telur keliling di daerah Jawa Timur. Ia melewati rumah-rumah warga sekitar, berharap seseorang memanggilnya dan berkata, “Le, endog pitik’e iki regane piro?” Mendengar hal tersebut, Iwan merasa perjuangannya itu tak sia-sia. Hingga petang hamper tiba, Iwan bergegas menuju rumah sang Juragan. Bersama sisa 5 butir telur yang pecah/ retak dan total uang Rp40.000,00 yang ia dapatkan dari hasilnya menjual telur milik sang Juragan, akan ia setorkan kepada sang Juragan. Sang Juragan telah memaklumi bahwa telur yang pecah/ retak tak sepenuhnya kesalahan Iwan. Sering kali saat Iwan menjajakan barang dagangannya, sering kali hal tersebut terjadi di saat telur-telur tersebut dipilah-dipilah oleh anak pembeli atau pembeli. Biasanya sang Juragan memberikan telur yang pecah/ retak itu kepada Iwan agar dapat Iwan gunakan sebagai lauk makan bersama keluarganya. Tak lupa sang Juragan juga memberi upah kepada Iwan.
Setelah tugas dan haknya telah terselesaikan, Iwan lantas pulang ke rumah. Di rumah, ia serahkan telur pemberian sang Juragan kepada ibunya untuk diolah menjadi lauk. Saat Iwan akan memberikan uang hasil menjual telur kepada kedua orang tuanya, sering kali uang tersebut ditolak oleh orang tuanya. Kedua orang tuanya tak tega ketika harus menerima uang pemberian Iwan, mereka hanya berpesan kepada Iwan agar uang tersebut lebih baik ditabung saja oleh Iwan.
Mendengar hal itu terucap dari kedua orang tuanya, Iwan hanya mampu terdiam sesaat dan mematuhi perintah yang diucapkan oleh kedua orang tuanya tersebut. Dalam hati, Iwan hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga jerih payah Iwan ini kelak dapat bermanfaat untuk keluarganya.
Sepulang sekolah, layaknya anak-anak usia 12 tahun lainnya, Iwan pergi bermain bersama teman-teman sebayanya. Dengan asyiknya ia memulai sebuah permainan. Saat ia mulai tenggelam dalam keseruan dunianya, ia dikejutkan dengan sebuah suara. Suara yang terdengar seperti memanggilnya, “Wan… Iwan… reneo, Wan.”
Iwan bertanya-tanya dalam hatinya dari mana suara itu berasal, kebingungan dan rasa takut perlahan menyelimuti batin Iwan. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan menghadap ke sebuah rumah yang cukup besar. Terlihat di depan rumah itu nampak pemilik rumah, yaitu seorang lelaki yang berumur sekitar 47 tahun, bertubuh gempal, dengan rambut yang agak sedikit beruban dan kumis yang sedikit tebal. Melihat orang tersebut, tersadar diri Iwan, Iwan baru menyadari bahwa suara yang memanggil-manggilnya tersebut berasal dari pemilik rumah tersebut yang bernama Pak Sabdi. Pak Sabdi adalah seorang juragan telur ayam. Beliau setiap harinya menjual telur ayam di sebuah toko kecil depan rumahnya.
Mengetahui bahwa Pak Sabdi memanggilnya, Iwan lantas menghampiri Pak Sabdi dan bertanya, “Wonten nopo Pak?” Tanpa panjang lebar, Pak Sabdi mengutarakan sebuah penawaran, “Kowe tak tawari kerjo, gelem gak, Wan?”
Batin Iwan merasa sangat terkejut, tak diduga angan-angan yang selalu diharapkanannya kini mulai menemui titik terang. Iwan bertnya kembali kepada Pak Sabdi, “Kerjo nopo, Pak?”
Dengan ramahnya, Pak Sabdi menjawab, “Kowe tak kongkon ngedol endog pitik iki mubeng neng sekitar deso, gelem gak?” Ternyata Pak Sabdi memberikan penawaran kerja kepada Iwan untuk menjajakan telur ayam miliknya ke sekitar desa. Pak Sabdi memberikan penawaran kerja ini kepada Iwan bukan tanpa alasan. Beliau menyadari keadaan ekonomi keluarga Iwan yang serba kekurangan. Maka dari itu Pak Sabdi berharap dengan penawaran yang diberikannya ini kepada Iwan, Iwan akan mampu membantu mengubah kondisi ekonomi keluarganya.
Tanpa berpikir panjang, Iwan menyanggupi penawaran Pak Sabdi. Setiap pulang sekolah, Iwan memulai perjuangannya menjajakan butiran telur ke sekitar desa. Dengan sebaskom besar berisikan sekitar 40 butir telur, ia mulai perjuangannya. Ia berkeliling menelusuri terjalnya jalan pedesaan dengan semangat yang menggebu-gebu, dengan rasa percaya diri yang selalu menyertainya. Panas teriknya matahari, deru derasnya rintikan hujan, ia hadapi dengan penuh keikhlasan. Semua itu dilakukannya dengan sebuah harapan, yaitu semoga dagangannya dapat terjual tanpa adanya sisa.
Ia lewati terjalnya jalan pedesaan sambil sesekali berteriak, “Endog…endog…” Sebuah teriakan yang menjadi ciri khas seorang penjual telur keliling di daerah Jawa Timur. Ia melewati rumah-rumah warga sekitar, berharap seseorang memanggilnya dan berkata, “Le, endog pitik’e iki regane piro?” Mendengar hal tersebut, Iwan merasa perjuangannya itu tak sia-sia. Hingga petang hamper tiba, Iwan bergegas menuju rumah sang Juragan. Bersama sisa 5 butir telur yang pecah/ retak dan total uang Rp40.000,00 yang ia dapatkan dari hasilnya menjual telur milik sang Juragan, akan ia setorkan kepada sang Juragan. Sang Juragan telah memaklumi bahwa telur yang pecah/ retak tak sepenuhnya kesalahan Iwan. Sering kali saat Iwan menjajakan barang dagangannya, sering kali hal tersebut terjadi di saat telur-telur tersebut dipilah-dipilah oleh anak pembeli atau pembeli. Biasanya sang Juragan memberikan telur yang pecah/ retak itu kepada Iwan agar dapat Iwan gunakan sebagai lauk makan bersama keluarganya. Tak lupa sang Juragan juga memberi upah kepada Iwan.
Setelah tugas dan haknya telah terselesaikan, Iwan lantas pulang ke rumah. Di rumah, ia serahkan telur pemberian sang Juragan kepada ibunya untuk diolah menjadi lauk. Saat Iwan akan memberikan uang hasil menjual telur kepada kedua orang tuanya, sering kali uang tersebut ditolak oleh orang tuanya. Kedua orang tuanya tak tega ketika harus menerima uang pemberian Iwan, mereka hanya berpesan kepada Iwan agar uang tersebut lebih baik ditabung saja oleh Iwan.
Mendengar hal itu terucap dari kedua orang tuanya, Iwan hanya mampu terdiam sesaat dan mematuhi perintah yang diucapkan oleh kedua orang tuanya tersebut. Dalam hati, Iwan hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga jerih payah Iwan ini kelak dapat bermanfaat untuk keluarganya.
nice post :)
BalasHapushehehe...terima kasih gan.. :D
BalasHapusTerharu baca ceritanya 👍. Semoga masih banyak iwan-iwan lain yang mau berusaha kerja halal demi membantu orangtuanya.
BalasHapusamin 🤲
Hapusterima kasih mbak