Bila kita renungi kembali, benarkah kita sudah merdeka?
Bisa jadi jawabannya memang benar, negara kita sudah diakui sebagai negara yang berdaulat. Negara kita memiliki pemerintahan, menjalin kerjasama bilateral dengan banyak negara lain di dunia. Tak kurang pula peran serta negara kita dalam berbagai event yang melibatkan negara-negara di dunia.
Soal popularitas, negara kita juga bisa dibilang sudah dikenal. Tempat wisata yang ada di negara kita pun sudah dikenal warga dunia, seperti Bali yang bahkan tingkat popularitasnya melebihi nama negaranya. Makanan khas dari Indonesia, rendang, pernah diakui sebagai makanan terlezat di dunia.
Namun sudah cukupkah demikian yang disebut merdeka itu?
Ternyata bila kita tilik kembali masih banyak kekurangan yang dimiliki oleh negara kita dalam menyandang status merdeka. Dalam hal sumber daya manusia misalnya, sudah sangat sering kita mendengar ketertinggalan kita. Salah satu hal yang paling terlihat misalnya masalah korupsi. Walaupun sudah terdapat badan khusus yang menangani kasus korupsi toh masih ada saja kasus korupsi yang melibatkan orang-orang yang seharusnya memegang amanah dengan baik. Pernah saya dengar dari obrolan warung kopi bahwa zaman sekarang menjadi pejabat belum lengkap kalau belum terlibat korupsi, sungguh sedih mendengarnya.
Lain halnya dalam daya saing sumber daya manusia. Di negeri yang segala sesuatunya tersedia, sumber alam melimpah, masih banyak warga miskin.
Apa yang kurang dari negeri yang kita cintai ini?
Disadari atau tidak, secara mental kita masih terjajah oleh sikap dan sifat yang belum merdeka. Hal yang sederhana, membuang sampah misalnya, belum semua orang sadar untuk melakukannya dengan benar. Coba amati di sekitar lingkungan kamu, kalau ada saluran air, masihkah warga sekitar membuang sampahnya di sana? Di sekolahmu, masihkan para murid "menyimpan" bungkus makanan di bangkunya?
Contoh lain bisa kita temui ketika negara ini menggelar pemilu. Banyak orang berlomba untuk dipilih, celakanya seolah-olah pemilihan umum adalah ladang bisnis. Banyak yang menganggap dengan memperolah jabatan akan memperlancar bisnis pribadi, semakin tinggi jabatan makin besar keuntungan pribadi yang diperoleh. Banyak yang mengaku pro rakyat namun kenyataannya mereka jauh dari rakyat.
Di masyarakat juga demikian, kita tersekat-sekat oleh batasan yang kita buat sendiri. Contoh paling nyata adalah di media sosial. Kita mudah terprovokasi oleh kabar yang belum tentu benar. Sering saya temui, menunjuk pihak x untuk kesalahan yang dilakukan pihak y, dan kemudian masyarakat terpancing.
Sudah saatnya kita merenungi kembali, sudahkah kita mengaplikasikan sikap dan sifat yang konstruktif dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya membangun sarana dan prasarana, sisi mental juga harus dibenahi. Ngomong-ngomong soal mental, saya jadi teringat dulu ada capres yang punya slogan "revolusi mental" namun pada kenyataannya tidak jelas apa revolusi mental yang dimaksudkan. Tidak ada penjelasan mengenai mental seperti apa yang ingin dibentuk.
Sudahlah saya tak ingin mengulas tentang itu.
Untuk berpartisipasi dalam membangun sumber daya manusia Indonesia, kita bisa melakukannya mulai dari lingkungan terdekat kita, keluarga. Mulai dari diri sendiri, tularkan ke anggota keluarga terdekat. Sadari mengenai sikap yang tidak bermanfaat seperti menunda-nunda pekerjaan, tidak disiplin, dan bermalas-malasan. Hindari sikap-sikap tersebut. Ubah sifat yang kurang sesuai dengan semangat kemerdekaan seperti sombong, ingin untung dengan merugikan orang lain, merasa paling benar serta tidak mau mendengar masukan dari orang lain.
Mari kita bangun pribadi-pribadi yang merdeka demi masa depan anak dan cucu kita.