NgeShare - Sebuah Pembelaan

Beberapa hari yang lalu, mampirlah seorang teman lama ke kosan saya, panggil saja namanya Satrio (nama samaran). Kebetulan waktu itu juga saya baru saja pindah kos. Pindah? Iya, biasalah problema anak kos tahun pertama, yaitu karena gak “kerasan” di kosan yang lama. Saya pernah mendengar mitos dari beberapa sesepuh kos alias mas-mas yang sudah berpengalaman ngekos, bahwasannya memang tak banyak anak baru yang betah dari awal hingga kelulusannya berada di kos yang pertama kali ditinggalinya, pasti ada keinginan untuk pindah, apalagi kalau udah tahu kosan teman satu kelasnya.

Oh, iya balik lagi ke topik mengenai teman saya tadi, yaitu Satrio yang lagi mampir ke kosan saya. Dia merupakan teman lama yang sudah saya kenal sejak SMP, apa teman sekelas? Hmm...alhamdulillah bukan, hahaha... Saya memang satu SMP dengannya, tetapi bukan sekelas. Saya baru pertama kali mengenalnya semenjak mengikuti salah satu kegiatan ekstrakurikuler di SMP. Dari kegiatan itu, saya dapat mengenalnya. Mengenal pribadinya, mengenal setiap gaya bicara, gelagatnya, dan candaan serta kelucuannya.

Dia memang terkenal sebagai seorang yang apa adanya dan serba ceplas-ceplos. Ketika dia merasa tidak suka, maka dia bilang tidak, dan sebaliknya ketika dia suka maka jelaslah jawabnya. Ada keinginan saya untuk dapat seperti dia, bukan keceplas-ceplosannya, tapi kelucuannya. Ya, kelucuannya, dengan kelucuannya dia dengan begitu mudahnya dapat akrab dan membuat orang lain tertawa.

Saya pernah mendengar kata-kata dari beberapa wanita cantik (cantik itu relatif, ya), bahwasannya mereka lebih suka dengan pria yang bisa melucu ketimbang dengan pria tampan, mengapa demikian? Konon katanya, ketika si wanita sedang merasa sangat sedih, maka ada pria di sampingnya yang akan selalu dapat membuatnya kembali tersenyum mringis atau tertawa dengan kelucuannya, dan pada akhirnya si wanita dapat melupakan setiap kesedihan yang dirasakannya. Lalu mengapa mereka tidak memilih pria tampan? Karena katanya (juga) ketampanan itu tak akan selamanya bertahan pasti akan berkurang dengan bertambahnya usia dan waktu yang terus berjalan.

Saya sadari bahwa saya bukanlah orang yang begitu pandai dalam membuat orang tertawa. Setiap kali saya mengutarakan sebuah guyonan, yang ada pasti sebuah kenihilan untuk membuat orang lain tertawa. Bahkan untuk merespon saja sama sekali tidak ada, huhu sial betul diri ini. Ya mungkin ini memang bukan bakat atau lahan saya. T_T

Maka dari itu ada niatan dalam diri saya untuk bisa menjadi seperti Satrio yang bisa melucu, ya walaupun sering saya mendengar ada pameo yang berbunyi, “Be Yourself” atau “Jadilah dirimu sendiri”. Kalau gak bisa membuat orang lain tertawa, ya minimal saya ingin membuat mereka tersenyum, toh tersenyum dan tertawa itu kan memiliki arti yang berbeda.

Sudah cukup lama saya tidak bertemu dengan Satrio, terakhir bertemu, yaitu pada saat acara perpisahan SMK. Semenjak saat itu, saya sama sekali tak pernah tahu tentang kabarnya (Ya aslinya saya memang nggak mau tahu, hahaha...). Kebetulan sewaktu SMK, kami memilih sekolah yang sama, tetapi lagi-lagi tidak satu kelas. Setelah hampir 1 tahun tidak berjumpa, eh ternyata dia berada di kota yang sama dengan saya, ya meskipun beda kampus. Tetapi berhubung berdomisili di kota yang sama, ya dia menyempatkan diri untuk sekadar mampir di kosan saya.

Karena saya seorang yang selalu welcome terhadap teman yang ingin dolan atau sekadar mampir ke kosan, ya saya pun memonggokannya. Bukannya sombong, tapi saya paling pantang jika menolak sebuah kedatangan. Ya masa kalau dikunjungi sama teman mau ditolak, jelas ndak etis, bukan? Selama ada waktu selo (santai), ya mengapa tidak kita terima, toh pada akhirnya ketika kita sedang mengalami kesulitan terutama di perantauan, siapa lagi yang mau menolong kita kalau bukan teman? Hohoho...

Dikunjungi oleh seorang teman ataupun saudara itu merupakan sebuah sarana untuk menyambung silahturahmi. Berbicara mengenai silahturahmi, saya jadi teringat akan sebuah hadist dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda,
Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi.

Lha kok saya malah ceramah gini, ya? Ah, gak papa, anggap saja saya sedang menyelam sambil minum air, sembari bercerita sekalian saya mengingatkan. Toh mengingatkan itu kan diperbolehkan, selama itu mengingatkan dalam kebaikan, huehehe...

Nah, pas lagi ketemu dengan Satrio, apalagi hal yang kami lakukan kalau gak ngobrol-ngobrol. Ngobrolin tentang sesuatu yang seriusan sampai yang candaan. Obrolan tentang kabar sampai nostalgia yang kadang bikin malu bin geli gak karuan.

Tapi waktu itu, eh pas lagi asyiknya ngobrol, tiba-tiba saya malah merasa nelangsa. Lha kok malah nelangsa? Gimana gak nelangsa kalau sebagai seorang jomblo yang jelas minim dari kata “pasangan” maupun “pacar” mendengar sebuah kalimat yang berbunyi, “Kamu wi lho mbok ya ndang cari pacar.”

Oh, iya sebelum insiden kalimat keramat itu muncul (bagi seorang jomblo), kebetulan waktu itu saya sedang bertanya tentang kabar teman saya yang kebetulan (eh, bukan kebetulan sih, mungkin udah takdirnya) menjadi pacar Satrio, panggil saja namanya Yolanda. Yolanda merupakan teman SD saya sekaligus teman SMP, ya walaupun pas SMPnya gak satu kelas. Yang saya tahu, Yolanda dan Satrio sudah mulai berpacaran semenjak SMP kelas 2 hingga sekarang kuliah (duh, awetnya). Ya walaupun rumor-rumornya sempet putus nyambung putus nyambung kayak judul lagu.

Mendengar kalimat yang terucap dari bibir Satrio yang dengan ekspresi polos tanpa getar getir atau menunjukkan penyesalannya itu, jelas membuat saya nelangsa bertubi-tubi dan mangkel. Bagai kejatuhan kulit duren beserta penjualnya, yang jelas tanpa dengan isinya, kalau kejatuhan sama isinya mah mending, lah ini kejatuhan cuma kulitnya doang, udah sakit tambah ngeners lagi. Dan sepertinya kalimat itu keluar sebagai sindiran kepada saya (Ah, gak boleh su’udzon), tapi mungkin memang benar sih. Secara Satrio sudah tahu betul mengenai masalah asmara saya yang sampai saat ini masih kusut.

Tetapi, sebagai seorang jomblo yang kuat, bermartabat dan gak mau kalah, jelas keluarlah sebuah kalimat pembelaan dari saya. Awalnya sih saya hanya membalas dengan kalimat, “Nyari pacar? Lha wong buat ngurus kuliah aja aku masih merasa kurang benar, gimana mau ngurus anak orang."

Agaknya kalimat balasan saya itu kurang begitu mampu untuk menundukkan argumen Satrio. Lantas ia berkata lagi, “Halah, masalah kuliah, sambil jalan kan bisa. Itung-itung sekalian buat motivasi biar kuliahnya tambah semangat.”

Lantas kembali saya mempertegas argumen saya tadi sebagai pembalasan kepada Satrio, “Ah, aku nggak mau mikir itu dulu, toh sukses nggaknya seseorang kan juga nggak dipengaruhi sama punya pasangan atau ndak. Tuh, lihat contohnya kayak Raditya Dika, Hafiza Elfira atau penulis yang kini lagi naik daun yaitu Agus Mulyadi, dengan kejombloan dan kerja kerasnya, mereka dapat memetik kesuksesannya masing-masing.”

Mungkin kalimat itulah yang sekiranya dapat menghentikan Satrio untuk sekadar menyindir saya. Dalam hati saya pun mbatin, “Hayo, wis nggak bisa nyindir lagi kan? Huehehe...” 

Saya terkekeh sembari menunjukkan sedikit senyum licik saya (Huahaha...). Sementara Satrio dia hanya menyeletuk pelan dengan kata-kata, "Oh, iya ya." sambil menunjukkan ekspresi nggumunnya (kagum). Entah dia nggumun dengan kata-kata saya, atau dengan orang-orang yang saya sebutkan tadi. Entahlah entahlah, biar dia saja yang tahu.

Obrolan pun berlanjut hingga entah lupa jam berapa, mungkin karena asyiknya mengobrol sampai lupa waktu. Kalau nggak salah sekitar jam 10 malam berakhirlah obrolan temu kangen tersebut dan berakhirlah dengan salam perpisahan tak lupa dengan harap semoga dapat kembali bertemu di hari esok yang lebih menyenangkan. Oh...yeah....

VIA GIPHY
Share:
Sawer


Anda suka dengan tulisan-tulisan di blog ini? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan blog ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol sawer di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

0 $type={blogger}:

Posting Komentar