Di suatu pagi yang terasa dingin, aku mendengar telepon genggamku berdering. Dengan tingkah seorang yang baru saja bangun dari lelapnya tidur, aku cukup kesulitan dalam mencari telepon genggamku itu. Ya, maklum saja karena aku tak begitu ingat telah meletakannya di mana semalam. Butuh waktu beberapa menit lamanya, hingga akhirnya aku dapat menemukannya. Menemukannya, dan kemudian kulihat ada sebuah pesan di dalamnya. Lantas kubukalah pesan itu, dan kemudian kubaca. Kubaca pesan singkat itu yang bertuliskan,
Kak, aku berangkat, ya.
Sebuah pesan singkat yang justru menimbulkan kebingungan dalam diriku. Aku merasa tak paham akan maksud pesan itu, mungkin dikarenakan aku yang saat itu masih terbawa dalam suasana kantukku. Untuk dapat memahami pesan itu, sesaat aku pergi ke kamar mandi tuk sejenak membasuh mukaku, membersihkan sisa-sisa kantukku. Selepas itu, kembalilah aku ke kamar, dan kubaca sekali lagi pesan singkat itu.
Kulihat pesan itu dari seorang wanita, yang juga merupakan kawan lama. Kawan lama yang pernah kukagumi sebelumnya. Melihat pesan itu darinya, sejenak aku terdiam dan kemudian kubalas pesannya dengan sebuah pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang akan menjawab kebingungan yang sedang kurasakan. Kutanyakan kepadanya,
Kamu mau berangkat kemana?
Tak lama berselang, sebuah pesan balasan datang darinya. Dalam pesan balasannya itu ia memberi jawaban padaku, jawaban bahwa dirinya akan berkelana. Ya, berkelana, berkelana ke negeri seberang nun jauh di sana, tepatnya ke negeri Cina. Tentang mengapa ia kesana, ia memberi tahuku bahwa dia ke sana untuk melanjutkan pendidikannya. Sesaat aku jadi teringat akan kenangan dua tahun lalu. Dua tahun yang dulu dia pernah bercerita tentang salah satu mimpinya kepadaku. Berkelana hingga ke negeri Cina, itulah mimpi yang pernah ia kisahkan padaku yang saat itu kudengarkan dengan seriusnya. Pada akhirnya salah satu mimpinya itu dapat terlaksana, aku turut merasa bahagia.
Namun, di kebahagiaanku itu, egois rasanya bila aku tak merasa terkejut dan menyesal. Terkejut, pasalnya dia sebelumnya tak pernah menunjukan tanda-tanda akan keberangkatannya. Sesal rasanya karena tak dapat ikut mengantarnya sebelum keberangkatannya tiba. Ingin rasanya aku menyusulnya, menyusulnya yang saat itu dia telah berada di bandara. Meski aku dapat sampai di bandara, tapi mungkin aku tak akan sempat untuk bertemu dengannya, karena jarak yang terlampau jauhnya. Ya, terlampau jauh, kami berdua telah berada di kota yang berbeda, yang menyulitkan kami untuk saling berjumpa. Meski demikian, kami tetap dapat berjumpa melalui pesan singkat dan pesan suara, dengan begitu tak mengapa, tetap bersyukurlah yang ada.
Walaupun aku tak dapat ikut mengantar sebelum keberangkatannya di bandara, dia pasti juga merasa bahagia dengan aku yang telah mengikhlaskannya. Ya, mengikhlaskannya untuk mewujudkan mimpinya. Aku tak dapat melarangnya karena itu adalah pilihannya. Di samping itu, melarangnya bukanlah kehendakku yang sebenarnya. Kehendakku hanyalah mendo’akannya agar dia selalu dalam keadaan baik di sana dan kembali membawa kabar gembira kepada keluarganya. Ya, itulah kehendakku, dan aku berharap semoga dia berjaya di mimpinya berikutnya.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar