Oke, jadi ceritanya begini. Kemarin tepatnya, saya baru saja tiba di rumah selepas dari perjalanan mudik yang cukup melelahkan. Setibanya di rumah, saya kemudian langsung menuju ke kamar untuk meletakkan tas. Setelah itu, tiba-tiba kakak perempuan saya memberikan sebuah bungkusan yang nampak seperti kado. Ya, ternyata itu memang sebuah kado, seraya ia memberikannya dengan berkata, “Dik, selamat ulang tahun ya, ini kado untuk kamu. Jangan dilihat dari isinya ya, tapi lihat dari ketulusannya, hehehe...”
Seketika waktu itu, saya jadi teringat kalau beberapa hari yang lalu usia saya telah bertambah semakin tua. Hmm...tak terasa ya, waktu begitu cepat berlalunya, pikir saya begitu dalam hati.
Mendapatkan kado tersebut, saya jelas merasa bahagia sekaligus heran. Yaps, bahagia, wajar sajalah, siapa yang tak bahagia mendapatkan kado, lagipula itu kan gratis (hehehe...). Sedangkan heran yang saya rasakan, itu dikarenakan jarang sekali hal itu saya jumpai. Ya, maklumlah, dari dulu di keluarga saya, tidak ada tradisi untuk bertukar kado, apalagi untuk merayakan ulang tahun (hehehe...). Di keluarga saya yang sederhana, hari ulang tahun dianggap seperti hari-hari biasa. Hanya saja yang membedakannya di hari itu tepatnya, usia telah bertambah, dan hal itu secara jelas juga mengingatkan bahwa waktu tinggal di dunia ini telah berkurang.
Kembali lagi kepada kado pemberian kakak tadi. Setelah kakak memberikan kado itu, saya tidak serta merta langsung membukanya. Dikarenakan lelah sehabis perjalanan mudik, saya baru sempat membukanya di keesokan harinya, tepatnya di waktu bapak, ibu, dan kakak masih terlelap dalam tidurnya sebelum waktu sahur tiba. Sebelum membuka kado itu, terlebih dulu saya meraba-raba bungkusnya, bermaksud untuk menebak-nebak apa isi di dalamnya. Selain itu, saya juga mengguncang-guncangkannya dengan pelan untuk mendengar suara di dalamnya. Di waktu mengguncang-guncangkan kado itu, justru terdengar suara yang sangat familliar di telinga saya. Suara yang terdengar seperti remah-remah makanan yang menjadi salah satu favorit saya, terlebih lagi di saat tanggal tua tiba, siapa lagi kalau itu bukan mie instan. Tak ragu-ragu lagi, saya putuskan untuk segera membukanya dengan perlahan-laha. Yaps, perlahan-lahan, supaya tak membangunkan bapak, ibu, dan kakak.
Step by step saya membukanya, dan alhasil ternyata dugaan saya benar. Isi dari kado tersebut memang sebungkus mie instan. Sebungkus mie instan yang siap melegakan rasa lapar yang saya rasakan. Mengetahui hal itu, sontak saja saya tertawa dengan begitu kerasnya. Saking kerasnya tawa saya itu, sampai-sampai membangunkan ibu dan kakak. Mereka berdua kemudian menghampiri saya yang sedang tertawa sambil memandangi mie instan.
“Nak, ada apa, kok malam-malam ketawa sendiri?”, tanya ibu yang penasaran.
“Ini lho bu, ternyata isinya mie instan, ya, hahaha...”, jawab saya.
Kakak perempuan saya pun kemudian ikut berkata, “Itu kan kesukaan kamu, jadi ya mbak belikan saja itu untuk kamu, hahaha...”
Mendengar ucapan kakak, saya sama sekali tak berpikirann sedikitpun kalau kakak saya itu memiliki maksud untuk menjahili saya. Yang ada dalam pikiran saya waktu itu hanyalah sebuah ketulusan. Seperti yang telah kakak saya katakan sebelumnya, bahwa "Jangan dilihat dari isinya, tapi lihatlah dari ketulusannya". Ketulusan itu saya lihat dan rasakan dari apa yang telah kakak saya lakukan. Ya, walaupun hanya sekadar mie instan, setidaknya itu diberikan dengan ikhlas tanpa paksaan. Terlebih lagi ia membungkusnya dengan begitu rapi. 😊
Dari ucapan kakak tadi, kemudian kami bertiga pun tertawa bersama dan tak terasa waktu sahur telah tiba. Saya kemudian memutuskan untuk memasak mie instan pemberian kakak tadi untuk kami santap bersama di waktu sahur.
0 $type={blogger}:
Posting Komentar